UPAYA MENGINDONESIAKAN BAHASA DI INDONESIA

 UPAYA MENGINDONESIAKAN BAHASA DI INDONESIA


Gambar 1 -  Peta Bahasa Indonesia



A. Kilas Balik Bahasa Indonesia

Pada era keterbukaan informasi seperti saat ini, sekat-sekat yang menjadi pembatas antara satu negara dengan negara lain seringkali tidak dapat ditemukan titik koordinatnya. Titik koordinat yang dimaksud adalah wadah yang secara nyata dapat menunjukkan nilai-nilai yang lazim dikenal dan menjadi ciri suatu bangsa. Arus kemajuan ini membuat masuknya unsur budaya baru ke dalam suatu negara menjadi suatu ciri empirik yang lazim kita temukan saat ini. Bahkan, masuknya unsur luar tersebut dianggap sebagai sesuatu yang mencerminkan modernitas di kalangan tertentu pada suatu bangsa. Bahasa, sebagai identitas sebuah bangsa juga menjadi salah satu objek yang terkena imbasnya. Gejala ini membuat bahasa menjadi salah satu ajang ekspansi negara-negara di dunia.

Bahasa menunjukkan bangsa” ungkapan itu barangkali sudah sangat familiar dikenal telinga kita. Sepertinya eleborasi makna ungkapan tersebut bagi setiap individu berada di luar kepala. Akan tetapi, implementasi makna dari ungkapan tersebut sepertinya perlu kita persoalkan, dalam wujud apa ia berdiri dan dalam dimensi apa ia tak tersembunyi. Ungkapan itu membawa pesan betapa pentingnya bahasa dalam mencerminkan identitas dan jati diri suatu bangsa. Identitas suatu bangsa dapat ditunjukkan melalui bahasa. Peradaban suatu bangsa dapat dilihat melalui bahasanya. Bahasa menjelma menjadi semacam pakaian bagi suatu bangsa. Identitas suatu bangsa akan lebih mudah dikontrol melalui cara berbahasa. Bahasa yang melekat pada tubuh suatu bangsa bukan hanya sekadar simbolisasi dan lambang untuk entitas tertentu, tetapi ia membawa dimensi politis tersendiri.

Pendeklarasian bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional ditandai dengan lahirnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 pada kongres pemuda II. Ikrar sumpah pemuda menghasilkan tiga poin kesepakatan penting yang dianggap sebagai kritalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia. Salah satu kesepakatan yang terdapat pada butir ketiga dalam sumpah pemuda adalah menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Dalam pada itu, tentu, bahasa Indonesia memiliki peranan yang sangat fundamental dalam pergerakan sejarah bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan identitas nasional yang menjadi warisan leluhur budaya bangsa. Jadi sudah seyogianya, bahasa Indonesia haruslah tetap dijaga dan dilestarikan sebab keberadaannya secara historis sangat vital dalam mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Bahasa mempunyai relasi makna simbolik dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa menjadi politis selain karena bahasa merupakan medium istimewa tempat makna-makna dibentuk dan dikomunikasikan, juga merupakan alat utama yang melaluinya para pengguna membentuk pemahaman tentang diri mereka dan lingkungan sosialnya. Lalu pertanyaanya, seperti apakah citra bahasa Indonesia dalam mewujudkan nilai-nilai nasinalisme bagi penutur bahasa Indonesia? Atau bagaimana penutur bahasa Indonesia menggunakan medium bahasanya dalam konteks keindonesiaan hari ini?

Dalam konteks hari ini, dapat dikatakan bahwa bahasa Indonesia belum menempati tempat yang bergengsi dalam hati penutur bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia seolah mencari panggung sendiri untuk menunjukkan eksistensinya. Bahasa Indonesia seperti menjadi ‘tamu’ di negerinya sendiri. Penutur bahasa Indonesia saat ini seolah kehilangan kepercayaan diri untuk menggunakan bahasa Indonesia. Kenyataan ini sungguh memedihkan, upaya marjinalisasi bahasa Indonesia justru muncul dari masyarakat tutur bahasa Indonesia itu sendiri.

Gejala menomorduakan bahasa Indonesia dan menomorsatukan bahasa asing terutama bahasa Inggris menjadi konsumsi sehari-hari. Penggunaan bahasa Inggris dianggap sebagai suatu yang mencerminkan modernitas. Pertimbangan psikologis sepertinya menjadi suatu hal yang tidak dapat dilepaskan dalam konteks ini. Pertimbangan psikologis itu terkait misalnya dengan status sosial, kebanggaan intelektual, ataupun asosiasi dengan peradaban yang lebih maju.

Dari perspektif sosiolinguistik, Garvin dan Mathiot (1968) telah menerangjelaskan keadaan ini dengan apa yang mereka sebut sebagai sikap bahasa. Sikap bahasa dalam kajian sosiolinguistik mengacu pada prilaku atau tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan sebagai reaksi atas adanya suatu fenomena terhadap penggunaan bahasa tertentu oleh penutur bahasa. Garvin dan Mathiot merumuskan tiga ciri sikap bahasa yaitu:

1. Kesetiaan bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain.

2.  Kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat.

3. Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use).

Ketiga ciri yang dikemukakan Garvin dan Mathiot tersebut merupakan ciri-ciri sikap positif terhadap bahasa. Sikap positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan bahasanya (bahasa yang digunakan oleh kelompoknya/masyarakat tutur dimana dia berada). Sebaliknya jika ciri-ciri itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau dari diri sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri atau kelompok orang itu. Ketiadaan gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya merupakan salah satu penanda sikap negatif, bahwa kesetiaan bahasanya mulai melemah, yang bisa berlanjut menjadi hilang sama sekali.

Sikap negatif terhadap bahasa dapat juga terjadi bila orang atau sekelompok orang tidak mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan mengalihkannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu antara lain: faktor politis, faktor etnis, ras, gengsi, menganggap bahasa tersebut terlalu rumit atau susah dan sebagainya. Ihwal sikap negatif terhadap bahasa inilah yang tampak menyeruak dalam penutur bahasa Indonesia. Ini tentu miris, sebab seberapa teguh masyarakat tetap menjaga, merawat, dan memakai bahasa Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh rasa bangga masyarakat terhadap kemajuan Indonesia secara keseluruhan.

Krisis aktualisasi bahasa Indonesia telah merambah ke segala aspek kehidupan berbangsa dan benergara, tidak terkecuali pesta demokrasi. Pada rangkaian debat Presiden 2019 yang lalu, ada konstruksi wacana yang muncul ihwal usulan debat Capres-Cawapres dalam bahasa Inggris (baca: usul-usil debat pilpres berbahasa Inggris, Munginkah?). Meski masih dalam konteks wacana, tetapi hal ini sungguh menggelitik. Wacana ini ramai dibicarakan dan berseliweran di media massa. Terlepas dari kepentingan politis apa yang di bawa dalam wacana tersebut, sekali lagi bahasa Indonesia menjadi seolah dianaktirikan oleh orang tuanya sendiri; penutur bahasa Indonesia.

Bahasa Inggris memang menjadi momok yang menakutkan bagi bahasa Indonesia hari ini. Secara epistemik bahasa Inggris telah dianggap sebagai bahasa yang mencerminkan suatu era kemajuan. Dengan label bahwa bahasa Inggis telah disepakati sebagai bahasa internasional terus dikapitalisasi. Bahasa Inggris menjadi sangat superior di atas bahasa Indonesia yang minor.

        Akan tetapi, yang perlu diingat bahwa mempelajari dan menggunakan bahasa Indonesia merupakan tanggung jawab moral dan sosial yang secara konsisten-kolektif merupakan salah satu wujud nasionalisme kepada bangsa dan negara. Namun tentu, mengatakan bahwa masyarakat yang mempelajari bahasa Indonesia lebih nasionalis dibandingkan masyarakat yang mempelajari bahasa Inggris tentu dapat menyinggung perasaan. Tetapi sekali lagi, nasionalisme masyarakat dalam wujud aktualisasi bahasa Indoensia sejatinya perlu direkonstruksi. Hal ini penting guna menunjukkan jati diri bangsa Indonesia melalui bahasanya. Disadari maupun tidak, jika upaya marjinalisasi bahasa Indonesia terus terjadi, bukan tidak mungkin bahasa Indonesia hanya tinggal cerita yang tidak lagi bermakna.

Selain itu, ancaman terkait legitimasi bahasa Indonesia yang juga terus muncul dari bahasa Melayu. Malaysia, selaku penutur resmi bahasa Melayu terus melakukan propaganda diplomatis guna mewujudkan kepentingan politisnya. Upaya internalisasi bahasa Indonesia ke dalam bahasa Melayu secara sadar maupun tidak sadar masih berupaya dilakukan. Sebagai premis, tentu diperlukan upaya preventif guna menolak hal itu dengan cara paling sederhana, menumbuhkan keimanan tentang pentingnya bahasa dan berbahasa Indonesia secara konsisten.

Dari aspek yuridis, upaya menaikkan derajat bahasa Indonesia tampaknya telah mulai digalakkan, salah satunya melalui Perpres 63 tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Perpres ini secara subtansial berisi penguatan atas legitimasi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Secara ekplisit, pengejawantahan perpres ini memuat penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi presiden, wakil presiden dan pejabat negara yang lain baik dalam forum kenegaraan dalam negeri maupun luar negeri, komunikasi di instansi pemerintah hingga perjanjian internasional dan lain-lain.

Dikeluarkannya Perpres ini dapat kita maknai sebagai bukti kemerosotan bahasa Indonesia. Itikad baik dari pemerintah patut diapresiasi. Adanya peraturan hitam di atas putih yang mengatur tentang urgensi bahasa Indonesia berbahasa tentu sangat realistis. Akan tetapi, kecacatan perpres ini terlihat pada tidak adanya implikasi hukum yang menyertainya. Seyogianya, implikasi hukum dalam perumusan Perpres 63 tahun 2019 dapat pula dipertimbangkan, guna mempertegas esensi dari salah satu simbol negara ini. Mirisnya, setahun berlalu sejak dikeluarkannya perpres ini, tidak ada perubahan signifikan dalam dalam norma berbahasa di negara kita.

B. Upaya untuk Mengindonesia Bahasa di Indonesia

Bagaimana mungkin anda bisa menduniakan Indonesia kalau anda tidak berupaya untuk mengindonesiakan Indonesia. Ini sebuah momentum sangat serius, dan sekali lagi ini juga menjadi cambuk menjadi paradigma kita sebagai bangsa yang bangga dengan sejarah, khasanah, dan dirinya sendiri. Bukan sekadar meminjam milik bangsa lain.

Gambar 2 - Istilah Asing Terkait Korona

Perang bahasa di era globalisasi yang penuh dengan kecanggihan ilmu dan teknologi ini, seharusnya menjadi cambuk bagi kita semua akan bagaimana upaya mengindonesiakan bahasa Indonesia.

Gambar 3 -  Beberapa Istilah Asing dalam Dunia IPTEK


Oleh sebab itu, hal tersebut harus dibarengi pengembangan pola berpikir dan sarana yang dipergunakannya. Bahasa merupakan salah satu sarana utama untuk berpikir dan juga untuk mengkomunikasikan ide secara ilmiah. Untuk di Indonesia, salah satu sarana tersebut adalah bahasa Indonesia. Dengan demikian, upaya pengembangan bahasa Indonesia, perlu sekali.

Dalam upaya pengembangan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi ilmiah, ada dua masalah utama yang harus digarap, yaitu:

1. Masalah kosakata (termasuk istilah)

2. Masalah kaidah bahasa (termasuk tata bentukan, kalimat, dan paragraf).

 

Pengembangan kosakata/istilah bahasa Indonesia dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:

1. Dengan pembentukan atau penciptaan kata atau istilah,

2. Dengan penerjemahan, dan

3. Dengan pemungutan.

 

Gambar 4 - Padanan Kata MC dalam Bahasa Indonesia

Untuk penerjemahan dan pemungutan, keselarasan, dengan kaidah bahasa Indonesia harus diperhatikan. Dalam pengembangan kaidah, ada dua hal yang harus digarap yaitu:

1. Masalah tata bentukan kata

2. Masalah tata kalimat dan paragraf.

Pengembangan kaidah tata bentukan harus memperhatikan fungsi dan makna setiap afiks yang dipergunakan, cara pembentukkan kata, dan bentuk, dasar yang ada. Sedangkan, pengembangan tata kalimat harus diarahkan pada bangun kalimat efektif dan pengembangan paragraf harus berlandaskan logika dan  penalaran berpikir ilmiah. Di samping  itu, ketaatan dan kedisiplinan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar sangat diperlukan karena adakalanya pemakai bahasa Indonesia itu telah mengerti kaidah yang benar, tetapi enggan menggunakannya.

 


DAFTAR PUSTAKA

Andianto, M. Rus. 2013. Pragmatik: Direktif dan Kesantunan Berbahasa. Yogyakarta: Gress Publishing.

Alwi, Hasan dan Dendy Sugono (Editor). 2000. Politik Bahasa: Risalah Seminar Politik BahasaJakarta: Pusat Bahasa.

Halim, Amran. 1985. Membina Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KARAKTERISTIK BAHASA INDONESIA

RAGAM DAN LARAS BAHASA INDONESIA

TATA TULIS RAGAM ILMIAH